Rabu, 28 November 2007

Filsafat Fatalisme

Filsafat Fatalisme menyatakan bahwa manusia tidak perlu berpartsipasi apa-apa dalam menentukan jalan hidupnya. Segala sesuatu dalam hidup ditentukan secara mutlak oleh Tuhan, termasuk kecelakaan dan penderitaan kita.

Prinsip di atas tidak sesuai dengan iman Kristen, seperti yang tertulis dalam Rom 8:28 : Kita tahu sekarang, bahwa Allah turut bekerja dalam segala sesuatu untuk mendatangkan kebaikan bagi mereka yang mengasihi Dia, yaitu bagi mereka yang terpanggil sesuai dengan rencana Allah. Hal ini menunjukkan bahwa Tuhan turut bekerjasama dengan manusia untuk menentukan jalan hidup seseorang.

Manusia memiliki kebebasan untuk menentukan jalan hidupnya sendiri, dan Tuhan tidak pernah memaksa kehendakNya. Dalam Why 3:20, Tuhan Yesus hanya mengetuk pintu; bila ada yang mendengar dan membukakannya, maka Ia akan masuk dan makan bersama pemilik rumah. Bila tidak dibukakan, maka Tuhan Yesus tidak akan mendobrak untuk memaksakan kehendaknya.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Bpk. Agus, terus terang saya baru mendengar tentang fatalisme itu beberapa saat yang lalu di gereja. Terus terang dalam hal kerohanian ini, pemahaman saya masih dangkal. Yang menjadi pertanyaan saya adalah: kemudian bagaimana kita dapat mengetahui/mneyadari bahwa yang terjadi dalam hidup kita saat ini semuanya terjadi karena kehendak Tuhan ataukah kehendak kita sendiri atau orang-orang lain yang berhubungan dengan kita, baik secara langsung maupun tidak.
Untuk memperjelas maksud pertanyaan saya, berikut saya mencoba memberikan contoh:

1. Prinsip Ora et Labora. Berdoa dan Bekerja. Kita lakukan tugas dan bagian kita sebaik-baiknya kemudian selanjutnya kita serahkan kepada Tuhan. Kalau seandainya kita telah melakukan itu semua ternyata kemudian ada kejadian tertentu yang di luar kendali kita (faktor X), yang mengakibatkan semuanya tidak berjalan dengan baik. Apabila kita berserah kepada Tuhan atas hasil yang terjadi (dan ternyata hasilnya tidak sesuai dengan harapan kita), setelah kita melakukan semua yang kita mampu lakukan, apakah hal tersebut termasuk dalam prinsip fatalisme? Dan apabila untuk me-respons hasil yang tidak sesuai dengan harapan dengan usaha lanjutan yang lebih gigih (proses "Ora et Labora" yang berulang-ulang) hingga menghasilkan sesuatu yang sesuai dengan harapan kita, bukannya hal tersebut artinya kita memaksakan kehendak kita kepada Tuhan (dan yang lebih fatal lagi apabila terjadi hal yang demikian adalah prinsip yang mengemukakan bahwa aku adalah tuhan bagi diriku sendiri -> saya lupa nama prinsip yang berpandangan seperti ini).

2. Adakalanya dalam perjalanan hidup kita, kita menjalaninya dengan kondisi yang biasa-biasa saja (marjinal), hingga terjadi satu titik balik terbukanya suatu peluang besar, dimana kita berkenalan dengan seseorang yang kemudian dari perkenalan tersebut menjadikan titik balik dalam karier dan kehidupan ekonomi orang tersebut. Apabila orang tersebut bersyukur atas peluang yang diberikan oleh Tuhan dengan cara memperkenalkan orang tersebut kepada dirinya, apakah hal tersebut disebut juga dengan fatalisme? Mengingat bahwa perkenalan kita dengan seseorang yang untuk kemudian dapat membalikkan kehidupan kita (bukan dalam hal ekonomi saja, tetapi bisa jadi juga dalam hal rohani) adalah merupakan 'takdir/nasib'?

Maafkan atas pertanyaan-pertanyaan saya di atas. Saya tidak bermaksud mendebat/menghujat. Motivasi saya adalah ingin mengenal Tuhan Yesus secara benar dan lebih mendalam. Karena terus terang saya cukup terkejut mendengar paham ini pertama kali di gereja tempat saya beribadah. Hanya saja, saya kuatir apabila saya bertanya seperti ini di gereja maka saya akan langsung 'terkenal' seperti seleb2 itu. :) Gawatnya, bukan dalam hal yang positif