Sabtu, 09 Februari 2008

Semangat Membaur

Dalam kehidupan bernegara, dikatakan bahwa orang Kristen tidak mau membaur dan bersama-sama membangun negara ini. Bila dilihat dari suku bangsa, sering dikatakan bahwa orang Cina tidak pernah berbaur dengan penduduk asli Indonesia. Di Gereja Katolik sendiri pun sering dikatakan bahwa ada kelompok tertentu yang merupakan kelompok eksklusif yang tidak mau membaur dengan Gereja. Apakah semua ini benar dan bagaimana tindakan yang harus kita lakukan?

Marilah kita lihat pembauran dalam Gereja Katolik sendiri. Gereja Katolik memiliki kekayaan yang luar biasa, dari segi seni musik, lagu, kegiatan rohani yang tercermin dalam berbagai kelompok kategorial yang ada. Semua menggambarkan keanekaragaman Gereja Katolik, bahkan bahasa dan budaya daerah setempat pun dapat diadaptasi ke dalam perayaan Ekaristi, sehingga menggambarkan ciri khas daerah itu.

Tetapi anehnya ada beberapa kelompok kategorial yang keberadaannya belum dapat diterima, salah satunya adalah kelompok Karismatik Katolik. Banyak tokoh-tokoh Gereja (antara lain Pastor dan anggota Dewan Paroki) yang terkesan anti terhadap kelompok ini. Bagi mereka (maaf ini hanya oknum), kelompok Karismatik itu adalah kelompok orang-orang aneh yang eksklusif. Mereka alergi terhadap kegiatan persekutuan doa Karismatik yang ‘aneh’ dan dinilai tidak ‘liturgi’ (padahal memang kegiatan persekutuan doa itu bukan perayaan Ekaristi yang memang harus mengikuti tata cara liturgis tertentu). Ada Romo yang selalu menolak bila diminta untuk memberikan renungan di persekutuan doa, dan ada juga anggota Dewan Paroki yang menolak kegiatan berbau karismatik di lingkungannya. Padahal sebenarnya kegiatan Karismatik sendiri telah lebih dari 40 tahun diakui Gereja Katolik, dan keberadaannya di Indonesia sendiri sudah lebih dari 30 tahun.

Sekarang marilah kita bandingkan dengan gerakan sekelompok massa dari Cianjur, Bandung, dan Tasik yang beberapa hari lalu (pertengahan Juli 2007) mengepung Lembah Karmel di Cikanyere. Mereka menolak dilaksanakannya Konvensi Internasional KTM disana. Pada intinya mereka tidak menginginkan adanya kegiatan rohani lain yang tidak sesuai dengan iman mereka, karena itu dengan segala cara mereka menentang keberadaan Lembah Karmel. Jelas hal ini tidak menggambarkan suatu persatuan, tidak ada pembauran antara umat satu agama dengan umat beragama lain. Padahal kita tahu bahwa dasar negara kita adalah Pancasila, yang memberikan kebebasan beragama bagi seluruh penduduknya. Tapi kenyataannya, anda tahu sendiri kan.

Apakah dalam bentuk yang lebih halus, penolakan ‘oknum’ Gereja terhadap kegiatan suatu kelompok kategorial berbeda dengan kegiatan umat yang mendemo di Cikanyere tersebut? Para tokoh ini dengan sengaja ‘menghambat’ (bukan menentang) kegiatan kelompok tertentu (yang sebenarnya diakui oleh Gereja Katolik), karena mereka menganggap kelompok tersebut ‘berbeda’ dengan pandangan/kelompok saya. Hal ini jelas menghambat semangat pembauran di dalam Gereja sendiri. Untuk itu marilah seluruh tokoh Gereja Katolik (di Indonesia, di Keuskupan Bogor, dan khususnya di Katedral Bogor) untuk mengayomi dan membina semua kelompok yang ada. Contoh menarik yang dapat ditiru adalah pendapat salah seorang Pastor Kepala Paroki : ”Sebagai Pastor Kepala Paroki, saya harus mengayomi, membina dan memperlakukan setiap kelompok kategorial dengan sama, walaupun mungkin secara pribadi saya tidak terlalu ‘sreg’ dengan suatu kelompok tertentu !”.

Salah satu prinsip pembauran adalah menghargai perbedaan yang ada. Membaur bukan berarti membuat diri kita menjadi sama dengan yang lain. Misalnya dulu bangsa Israel/Yahudi merupakan bangsa pilihan Allah, karena itu bangsa lain tidak pantas untuk menerima keselamatan. Tetapi dalam perkembangannya keselamatan itu milik semua bangsa, apalagi bangsa Israel sendiri menolak keberadaan Yesus Kristus sebagai juru selamat. Paulus pun memperjuangkan umat yang bukan Yahudi agar mendapat perlakuan sama dengan orang Yahudi yang telah disunat. Berkat perjuangan Paulus, maka umat lainnya dapat diakui keberadaannya, dan dianggap setara dengan orang Yahudi (lihat Kis 15:1-21).

Salah satu contoh dalam pembauran adalah Ibu Theresa. Dia bukan orang India, tetapi mau melayani orang-orang terendah di India, yang seringkali oleh bangsanya sendiri pun sudah dianggap bukan manusia lagi. Apakah beliau hanya melayani umat Katolik ? Jelas tidak ! Yang dia layani mayoritas beragama Hindu. Ibu Theresa tidak membeda-bedakan bangsa, agama dan berbagai hal lainnya; bagi beliau semua manusia sama, mereka adalah ciptaan Tuhan, yang harus juga dikasihi oleh kita semua. Ibu Theresa adalah tokoh pembauran yang luar biasa.

Bila kita kembali ke kehidupan bermasyarakat di Indonesia, maka walaupun seringkali kita, sebagai orang Kristen, tidak diterima oleh sebagian besar saudara-saudara kita yang menjadi mayoritas di negara ini, kita tidak boleh melawan dan bertentangan dengan mereka, tetapi jangan juga menutup diri. Karena semua hal tersebut bertentangan dengan semangat cinta kasih yang diajarkan sendiri oleh Tuhan Yesus. Kita tetap harus berusaha untuk bermasyarakat dengan baik, melaksanakan seluruh kewajiban sebagai warganegara yang baik (ingat Yesus sendiri menganjurkan untuk tetap membayar pajak kepada Kaisar dalam Mat 22:15-22). Umat Kristen harus memiliki semangat pembauran, dan bersedia untuk terus membuka diri untuk menerima dan menghormati perbedaan. Coba bayangkan bagaimana bila di dunia ini tidak ada perbedaan, semua orang bermuka sama, berprilaku sama, hobi sama ... oh sungguh membosankan dunia ini.

Tuhan, terimakasih atas perbedaan yang telah kau ciptakan di dunia ini. Dengan demikian kami dapat belajar untuk melihat perbedaan, dan menghargai orang lain yang berbeda dengan kami. Bahkan dengan semangat kasihMu, kami harus terus mengasihi, menolong dan membantu siapa saja tanpa memandang bulu. Amin.

Catatan :

Artikel ini pernah dimuat di majalah Berita Umat Paroki Katedal Bogor tahun 2007.

Tidak ada komentar: